Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Dua pekerja garmen Indonesia Warni Napitupulu (46) dan Tedy Senadi Putra (36) minggu lalu datang ke Tokyo melakukan jumpa pers dan unjuk rasa dengan spanduk bahasa Jepang meminta membayar tenaga kerja Indonesia, unjuk rasa di depan toko Uniqlo di Tokyo. "UNIQLO sebagai pengecer menolak permintaan untuk bertemu mereka," tulis Mirjam van Heugten dari Clean Clothes Campaign. Bunshun Online hari ini (16/10/2018) juga menuliskan panjang kisah perjuangan dua pekerja garmen tersebut yang merasa dirugikan oleh Uniqlo. "Sudah jelas UNIQLO memiliki banyak pengaruh dari bisnis pada pabrik kami. Ketika pesanan UNIQLO akan datang, mereka membeli mesin-mesin baru dan melakukan investasi. Kami menerima target tinggi untuk setiap hari yang berarti banyak jam lembur. Kadang saya menjahit 900 lengan dalam satu hari. Kami bahkan tidak bisa beristirahat di toilet. Ketika suami saya sakit keras dan harus pergi ke rumah sakit, saya ditolak untuk mengambil liburan saya untuk merawatnya dan saya kehilangan dia," ungkap Warni. Perjuangan mereka untuk mendapat kompensasi 5,5 juta USD setelah kehilangan pekerjaan mereka ketika pabrik Jaba Garmindo di Indonesia bangkrut pada tahun 2015, dua bulan setelah UNIQLO menarik pesanannya dari pabrik. Pada 10 April 2015, para pekerja di pabrik Jaba Garmindo diberitahu bahwa majikan mereka bangkrut dan pabrik mereka tutup. Jadi mulailah apa yang sekarang menjadi perjuangan tiga tahun untuk memulihkan jutaan dolar yang masih terutang kepada para pekerja terutama perempuan, banyak dari mereka yang telah dipekerjakan di Jaba Garmindo setidaknya selama satu dekade. Dalam unjuk rasa di Tokyo kedua pekerja memegang spanduk bertuliskan "Yanai Tadashi (Red.: Bos Uniqlo) Demi Kekayaan Anda, Para Pekerja Tolong Dibayar." "Sementara CEO UNIQLO terbang bolak-balik ke Eropa dengan meluncurkan kampanye dan membuka toko baru, Warni dan rekan-rekannya telah mengumpulkan hutang yang tinggi. Ketika pabrik tutup tanpa membayar upah dan pembayaran pesangon pekerja mereka, ini berarti pencurian upah," tulis Mirjam van Heugten lagi. Konsekuensi bagi pekerja sangat berat dan langgeng. Standar internasional mengamanatkan bahwa perusahaan harus mencegah, memitigasi dan mengatasi kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai pasokan mereka, yang mana UNIQLO dengan memalukan gagal, membiarkan Warni dan koleganya membayar harga. UNIQLO dapat dan harus membayar, sama seperti merek lain seperti adidas dan Nike telah membayar dalam kasus serupa penutupan pabrik, tambah Mirjam lagi. Let's block ads! (Why?) October 16, 2018 at 07:34PM via Tribunnews.com https://ift.tt/2CjT0c4 |
No comments:
Post a Comment